Namira terbangun dari tidurnya. Perempuan itu masih berada di meja kerja, persis di depan monitor 32 inchi yang menyala. Ia masih belum sadar betul. Kantuk telah membawanya ke ruang tidur yang tanpa sekat dan batas. Matanya hampir saja kembali tertutup rapat jika ponselnya tidak berdering.
Segera ia angkat telepon. Menjawab suara di seberang telepon. Sesekali ia tersenyum. Sesekali ia tertawa lepas. Rasa kantuk hilang perlahan menguap bersama hembusan udara dingin yang datang dari mesin-mesin pendingin ruangan. Ini sudah larut malam. Ia tertinggal sendiri di kantornya.
Namira bergeser dari tempat duduknya. Meninggalkan monitor besar yang masih menyala. Ia berdiri di depan jendela. Kaca-kaca besar yang dibuat tanpa bingkai dan teralis. Namira melihat jauh ke luar jendela. Langit tidak lagi berwarna hitam. Pekan lalu seorang anak perempuan telah mengubah warnanya menjadi ungu.
Namira membuka jendela. Ia melangkah perlahan, keluar dari jendela itu, berjalan di udara dengan kaki telanjang. Ini sudah larut malam. Tidak ada satupun manusia yang berjalan di udara seperti yang dilakukannya sekarang. Namira bebas melangkahkan kakinya. Ke langit yang tinggi, ke gunung yang menjulang, ke lautan biru yang membentang.
Tapi Namira segera teringat akan sesuatu. Ia berlari cepat meninggalkan gunung yang menjulang, laut yang membentang dan segera kembali ke ruangan dia sebelumnya. Dalam ruang tiga dimensi berwarna biru cerah yang tanpa sekat. Melewati udara, melewati jendela dengan kaca-kaca besar.
Di sana ia meletakan kata demi kata persoalan hidupnya pada sebuah layar monitor 32 inchi. Meletakan mimpi demi mimpi di atas tuts keyboard yang membawanya berpetualang. Tapi Namira terlihat tidak tenang. Ia mencari sesuatu yang mendadak hilang dari ruang tanpa sekat itu.
Helvetica..
Nama itu begitu istimewa bagi Namira. Helvetica banyak mengajarkan arti kejujuran pada gadis itu. Helvetica juga tak pernah berpura-pura. Ia lurus apa adanya. Meski tak seindah Monotype Corsiva yang sering mengajaknya terbang ke atas pelangi yang penuh warna, namun Helvetica selalu tampil mempesona dengan kesederhanaannya.
Namira terlihat bersedih. Air matanya mulai membasahi ruangan itu. Ia tak kunjung menemukan Helvetica meski sudah menanyakan pada semua orang. Seekor burung merpati lalu menghampiri Namira. Meminjamkan sayapnya agar Namira bisa terbang lebih tinggi mencari Helvetica.
Tapi sia-sia. Helvetica tak kunjung ditemukan. Ada yang menyarankan Namira untuk menemui Arial. Tapi Namira menolak. Ia tak mau jatuh cinta pada selain Helvetica. Namira juga tak mau dijodohkan dengan Tahoma ataupun Calibri. Ia tahu tak mudah melupakan cinta sejati yang pernah ada. Semua orang mulai khawatir pada Namira.
“Aku menginginkan kesederhanaan pada tiap kata cinta yang terucap,” ujar Namira pada hujan yang turun di ujung perasaannya.
Gadis itu mulai berjalan ke atas awan yang berderet. Ia sempat memandang sekilas ke arah bumi yang terlihat semakin jauh. Semua orang memandang ke arahnya dengan iba. Namun ia tak peduli. Namira tetap melangkah menuju atmosfir bumi. Ia ingin segera menapaki angkasa luar. Ia tahu Helvetica tengah menunggunya.
Helvetica..
Nama itu masih terukir di hati Namira, meski sudah satu tahun gadis itu hidup bersama Verdana. Sosok yang tak jauh berbeda dengan Helvetica. Setidaknya bagi Namira, sosok Verdana mengingatkan pada Helvetica.
Bersama Verdana, Namira tak lagi merasa sendirian saat berjalan di lorong kesunyian. Tapi hati Namira masih sama seperti yang dulu. Masih mencari Helvetica. Maski Verdana telah mengubah langit menjadi penuh warna seperti yang diinginkan Namira. Meski Verdana telah mencairkan kutub utara menjadi sungai-sungai dengan air berwarna violet.
“Aku mencintainya lebih dari itu. Cintaku tak bisa ditawar dengan semua itu,” kata Namira pada hujan.
Verdana lalu melangkah meninggalkan jejak kaki warna-warni di langit-langit hati Namira. Sosok sederhana itu telah berlalu menembus bebatuan cadas di pegunungan Pinnacle. Tidak ada yang tahu kemana Verdana akan kembali menyandarkan langkahnya. Sosok itu telah meninggalkan Namira yang masih mencari jejak-jejak Helvetica.
Namira tertegun. Sudah sepuluh tahun berlalu. Ia kini telah kelelahan dalam pencariannya. Sepuluh tahun, Namira tak berhenti mencari figur Helvetica pada tiap lelaki yang mendekatinya. Tapi malang, tak ada satupun dari lelaki itu yang sama dengan Helvetica.
Awalnya Namira tak kenal lelah. Ia terus berlari menembus awan. Mencari bayangan Helvetica hingga ke pulau Tristan Da Cunha. Tapi beberapa tahun belakangan Namira mulai capek. Ia tak lagi muda. Tak lagi lincah seperti sepuluh tahun lalu.
Dan malam ini, Namira kembali melihat langit berwarna ungu. Persis seperti saat ia kehilangan Helvetica sebelas tahun lalu. Namira lantas menuju jendela. Dengan kaca besar yang masih sama, jendela itu ia buka lebar-lebar. Ia ingin agar angin bertiup ke arahnya. Ia ingin segera melupakan Helvetica. (*)
Jakarta, Agustus 2016